CIANJUR, patas.id – Dulu, anyaman bambu atau giribig merupakan salah satu bahan utama pembangunan rumah. Namun lama-kelamaan, popularitas g...
CIANJUR, patas.id – Dulu, anyaman bambu atau giribig merupakan salah satu bahan utama pembangunan rumah. Namun lama-kelamaan, popularitas giribig tergeser oleh tembok rumah yang tersusun dari batu-bata dan plester.
Meski begitu, giribig belum sepenuhnya punah. Terkadang di daerah pegunungan, masih banyak warga yang menggunakan giribig untuk dinding rumah. Warga di pelosok pun masih mempertahankan proses pembuatan giribig ini secara turun-temurun, seperti yang dilakukan oleh Saepuloh (70 tahun) warga Kampung Cirumput Desa Cirumput Kecamatan Cugenang Kabupaten Cianjur.
Di tangan pria lanjut usia ini keberadaan giribig masih eksis dari tahun ke tahun. Kini ia menjualnya ke toko-toko besi dengan harga Rp 20 ribu untuk giribig berukuran 2 x 3 meter.
Meski harga tersebut terkadang sudah tersalip upah buruh tani yang sehari bisa menghasilkan Rp 35 ribu per hari, namun Saepuloh tetap tekun membuat giribig di sebuah rumah kosong yang dijadikan sebagai tempat untuk meraut sekaligus menganyam.
“Sekarang lebih banyak yang memilih menjadi buruh tani daripada menganyam giribig, karena pendapatan tak sebesar membuat giribig.”
Saepuloh mengatakan fungsi giribig hasil kerajinan bambu ini sudah banyak tergantikan dengan produk sejenis yang lebih murah dan mudah didapatkan oleh warga.
Saepuloh kini sendiri tak punya generasi pengganti untuk melanjutkan usaha giribignya. Namun, seakan ingin melawan derasnya produk pengganti, Saepuloh tetap bersemangat meraut untuk menghasilkan bahan anyaman giribig.
Dia mengatakan giribig merupakan identitas budaya bangsa yang patut diwariskan kepada generasi penerus. Apalagi fungsinya untuk menjemur padi atau dinding rumah menjadikan fungsi giribig lekat dengan budaya dan sejarah bangsa.
Saepuloh mengaku kegiatan memproduksi kerajinan dari bambu ini dilakukanya sejak dirinya berusai sekitar 10 tahun. Saat itu ia melihat kegiatan tersebut dilakukan oleh orang tuanya. Setelah melihat ia pun diajarkan bagaimana cara membuat giribig dan memasarkannya ke kampung-kampung.
“Sejak remaja, kegiatan ini sudah saya lakukan. Saya tidak akan berhenti melakukan ini sampai saya tidak bisa melakukannya lagi.”
Dia mengatakan dalam satu hari hanya mampu membuat satu buah giribig. Menurutnya proses meraut bambu yang membuat pekerjaan giribig memerlukan waktu yang lama. Meraut memerlukan seni dan teknik karena jika salah maka akan boros bahan baku.
“Ekonomi keluarga saya sedikitnya terbantu dengan usaha saya ini. Walaupun saya sudah tua, saya tidak mau bergantung dengan anak anak saya.”
Saepuloh bersyukur di usianya sekarang yang sudah lanjut masih bisa berkarya dan bermanfaat untuk orang lain. Dia berharap anak muda di Desa Cirumput mulai belajar dan mewarisi kerajinan anyaman bambu ini.
“Jika ada anak muda yang mau belajar memproduksi kerajinan anyaman bambu ini, dengan senang hati saya akan mengajarkannya. Saya berharap anak muda di Desa Cirumput bisa mandiri dan kreatif,” katanya. (isl)
The post Saepuloh Setia Menekuni Usaha Giribig Selama 60 Tahun is republished from patas.id
COMMENTS